Ekonomi

E-SDM PKH: Ketika Birokrasi Bertemu Teknologi, Hasilnya Bikin Geleng-Geleng atau Malah Pusing Tujuh Keliling?

Arum Triwahyono - Friday, 22 August 2025 | 08:30 AM

Background
E-SDM PKH: Ketika Birokrasi Bertemu Teknologi, Hasilnya Bikin Geleng-Geleng atau Malah Pusing Tujuh Keliling?

LINTAS BANTUAN -- Pernah denger Program Keluarga Harapan, atau yang akrab disebut PKH? Itu lho, program bantuan sosial dari pemerintah buat keluarga miskin dan rentan. Nah, di balik layar program segede gajah ini, ada ribuan "ujung tombak" yang kerja keras di lapangan: para pendamping PKH. Mereka ini yang hilir mudik, ngecek kondisi keluarga penerima, memastikan bansos tepat sasaran, dan jadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat paling bawah. Bayangin aja, dulu semua laporan, data, rekapitulasi kehadiran, sampai monitoring kinerja pendamping itu masih manual. Iya, manual! Tumpukan kertas, formulir yang ditulis tangan, tanda tangan sana-sini, bikin pusing kepala barangkali. Prosesnya bisa panjang kayak kereta api, rawan human error, dan jelas nggak efisien. Dulu, seorang pendamping PKH mungkin harus bawa segambreng berkas setiap kali kunjungan, belum lagi balik ke kantor buat nginput data satu per satu. Kalau ada data yang salah? Ribetnya minta ampun! Revisi sana, revisi sini, belum lagi koordinasi sama supervisor. Kebayang kan, betapa peliknya? Ibarat mau bikin nasi goreng, tapi ngulek bumbu cabe rawitnya harus nunggu panen dulu. Lama banget!

Dari Tumpukan Kertas ke Layar Gadget: Lahirnya E-SDM PKH

Di tengah kemajuan teknologi yang nggak bisa ditawar lagi, pemerintah pun nggak mau ketinggalan zaman. Lahirlah sistem E-SDM PKH. Apaan tuh E-SDM PKH? Gampangnya, ini adalah Sistem Informasi Manajemen Sumber Daya Manusia berbasis elektronik yang khusus dibuat untuk para pendamping PKH. Jadi, semua data terkait pendamping – mulai dari biodata, riwayat pelatihan, penempatan wilayah kerja, rekapitulasi kehadiran, sampai penilaian kinerja – semuanya masuk ke sistem digital ini. Tujuannya jelas: memangkas birokrasi, meningkatkan efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi. Nggak cuma buat memantau pendamping, tapi juga membantu mereka dalam melaporkan kegiatan harian, mingguan, atau bulanan. Ibaratnya, kalau dulu kita harus nulis diary pakai pulpen dan kertas, sekarang tinggal buka aplikasi di ponsel atau laptop, ketik, klik, beres! Ini bagian dari upaya digitalisasi yang memang jadi keharusan di era sekarang. Kalau kata anak muda, "udah zamannya, coy!" Dengan adanya E-SDM PKH, data-data yang masuk jadi lebih terpusat dan terintegrasi. Kementerian Sosial di pusat bisa memantau langsung kinerja para pendamping di seluruh pelosok negeri. Kalau ada pendamping yang performanya kurang optimal, bisa langsung ketahuan. Kalau ada pendamping yang rajin banget, juga bisa langsung diapresiasi. Jadi, nggak cuma sekadar "abal-abal" atau asal laporan. Semuanya tercatat secara digital. Data jadi lebih akurat, keputusan bisa diambil berdasarkan fakta, bukan cuma perkiraan. Ini sih jelas sebuah kemajuan yang patut diacungi jempol.

Bukan Tanpa Drama: Sisi Lain Koin Digitalisasi

Tapi, namanya juga teknologi dan implementasi di lapangan yang luas banget, pastinya nggak semulus jalan tol. Ada aja kerikil-kerikil tajamnya. Nggak bisa dipungkiri, E-SDM PKH ini juga punya sisi tantangan yang bikin para pendamping PKH kadang geleng-geleng kepala atau bahkan pusing tujuh keliling. Pertama, soal infrastruktur. Indonesia ini luas banget, Sobat! Sinyal internet yang putus nyambung kayak hubungan LDR, listrik yang byar-pet, atau bahkan nggak ada sama sekali di daerah pelosok, jelas jadi PR besar. Bagaimana pendamping di daerah terpencil bisa menginput data secara real-time kalau sinyal aja susah banget didapat? Kadang harus manjat pohon, atau numpang WiFi di balai desa terdekat yang jaraknya bisa berkilo-kilometer. Ini bukan cuma cerita horor, tapi realita. Kedua, masalah literasi digital. Nggak semua pendamping PKH itu Gen Z atau milenial yang lahir di era digital. Banyak juga yang senior, yang mungkin nggak terbiasa dengan gawai canggih atau aplikasi berbasis web. Meskipun sudah ada pelatihan, adaptasi itu butuh waktu dan kesabaran ekstra. Kadang sistemnya error, mereka panik. Password lupa, bikin pusing. Ada perubahan fitur dikit, harus belajar dari awal lagi. Ini jadi tantangan tersendiri yang butuh pendampingan dan kesabaran ekstra dari tim teknis. Ketiga, isu teknis sistem itu sendiri. Ya, namanya juga sistem, nggak luput dari "bug" atau eror. Kadang server down, aplikasi nge-lag, atau fitur-fitur yang nggak user-friendly. Eror 404 nggak cuma di browser, tapi juga di sistem yang lagi dipakai buat nginput data penting. Ini bisa bikin pekerjaan jadi terhambat, bahkan mundur dari target. Bayangin aja, lagi asyik-asyiknya nginput data ratusan keluarga, eh tiba-tiba sistemnya mental. Ambyar deh kerjaan! Ini jelas bikin frustrasi dan memicu keluhan di kalangan pendamping. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa digitalisasi ini bisa mengurangi aspek humanis dalam pendampingan. Pendamping jadi lebih fokus pada input data dan pemenuhan target angka, ketimbang interaksi langsung yang mendalam dengan keluarga penerima manfaat. Padahal, sentuhan personal itu penting banget dalam program sosial semacam PKH. Ini bukan cuma soal transfer uang, tapi juga pendampingan perubahan perilaku, peningkatan kapasitas keluarga, dan problem solving. Jangan sampai teknologi justru menjauhkan esensi keberadaan pendamping di lapangan.

Menatap Masa Depan E-SDM PKH: PR atau Harapan?

Meskipun ada banyak tantangan, nggak bisa dipungkiri kalau E-SDM PKH ini adalah langkah maju yang esensial. Ini adalah fondasi penting untuk manajemen program PKH yang lebih modern dan akuntabel. Tapi, bukan berarti kerjaan selesai. Justru, ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Pemerintah harus terus berinvestasi pada peningkatan infrastruktur digital di daerah terpencil. Pelatihan literasi digital bagi para pendamping harus terus digalakkan, dengan pendekatan yang lebih variatif dan suportif. Sistem itu sendiri juga harus terus di-upgrade, dibuat lebih stabil, lebih intuitif, dan responsif terhadap masukan dari para pengguna di lapangan. Jangan sampai cuma jadi pajangan, tapi benar-benar bisa jadi alat bantu yang efektif. Pada akhirnya, E-SDM PKH adalah dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia menawarkan efisiensi dan transparansi yang sangat dibutuhkan. Di sisi lain, ia membawa serta tantangan yang tak kecil, terutama dalam konteks geografis dan demografis Indonesia yang sangat beragam. Yang jelas, peran manusia di balik sistem ini—para pendamping PKH yang tak kenal lelah—tetap tak tergantikan. E-SDM adalah alat, tapi hati dan dedikasi merekalah yang menggerakkan program ini. Mari berharap, ke depannya sistem ini bisa terus disempurnakan, agar benar-benar menjadi "partner" terbaik bagi para pahlawan sosial kita di lapangan.

Popular Article